Prof. Dr. Yayan Sopyan, SH, MA, MH
Memahami sejarah hukum adalah kunci untuk tidak terjebak pada pemahaman yang kaku dan sempit. Opini bernas ini mengajak kita untuk melihat hukum perkawinan tidak hanya sebagai teks, tetapi juga sebagai produk politik dan sejarah yang berkembang dalam masyarakat. Dengan memahami konteks lahirnya UU Perkawinan, kita dapat mengapresiasi perjuangan di balik unifikasi hukum perkawinan di Indonesia dan mencari solusi atas fenomena-fenomena aktual yang mungkin timbul.
Mengapa Perlu Memahami Sejarah Hukum?
Banyak hakim, pengacara, jaksa atau akademisi hukum yang terjebak pada pemahaman literal dalam membaca dan menggunakan Undang-undang yang hanya difahami dan digunakan secara normatif dan positivistic. Yang menjadi tujuan utama dari pemahaman itu adalah bagaimana hukum bisa diterapkan dan memberikan kepastian hukum. Pemahaman dan penggunaan dengan cara tersebut tentu saja sepenuhnya tidak salah, karena memang para ahli hukum kita dididik dari warisan pendidikan hukum penjajahan Belanda lebih menekankan atau cenderung pada doktrin legalis yang tekstualis yaitu suatu cara penafsiran hukum yang berfokus pada makna tekstual dari suatu dokumen hukum. Ini merupakan gaya hukum dari madzhab Continental (civil law) yang berasaskan pada peraturan tertulis yang tesusun secara sistematik. (Rasjidi, 2003)
Waktu terus bergeser, dan jamanpun berubah. Sudah banyak para hakim, pengacara, jaksa atau akademisi hukum yang sudah berubah pemahaman hukumnya dari tekstualis ke kontekstualis. Penyebab pergeseran tersebut bukan saja dipengaruhi oleh dosen hukum yang sudah mendapatkan “pencerahan” dari dari madzhab lain selain madzhab literalis seperti Satjipto Rahardjo yang mendapatkan pendidikan hukum di Amerika yang bermadzhab Anglo Saxon. Tetapi juga adanya persentuhan ilmu pengetahuan dan informasi yang kian terbuka. Jarak antara Civil Law dan Common Law tidak selalu berhadapan. Justru sekarang sudah mulai merapat dan saling mengisi.
Satjipto Rahadjo (2006) telah menggebrak aras hukum Indonesia dengan gagasan “Hukum Progresif” yang mengubah cara pandang hukum dari legalistik, normatif dan positivistik itu menjadi lebih terbuka. Dari mengedepankan kepastian hukum menjadi hukum yang lebih berkeadilan dan bermanfaat untuk masyarakat. Gagasan hukum progresif itu lahir dari kritikan Satjipto terhadap prilaku hakim yang lebih mengedepankan kebenaran formil yang menyebabkan terjadinya keterpurukan hukum dan tingkat kepuasan masyarakat terhadap hukum, hakim dan pengadilan sangat rendah. Satjipto sangat menekankan pentingnya memahami hukum tidak tidak bisa berpihak pada ketentuan normatif saja. Kalau hanya memahami ketentuan normatif, maka tidak bisa memahami aspek-aspek lain yang bisa memberikan makna bagaimana pembentukan hukum seharusnya dilakukan. Sehingga perlu dipahami aspek sosiologis dalam pembentukan hukum.
Memahami Sababul Wurud dan Sababun Nuzul Undang-undang
Sebuah perundang-undangan akan hambar bahkan boleh jadi melenceng dari makna substantif dari keinginan pembuat Undang-undang. Tanpa mengetahui sababun nuzul atau sababul wurud mengapa dan bagaimana Undang-undang itu lahir. Suasana kebatinan seperti apa yang melatar belakangi lahirnya Undang-undang? atau konstalasi politik seperti apa yang terjadi dalam perumusan Undang-undang? Ini menjadi sangat penting untuk diketahui oleh praktisi dan akademisi hukum. Adagium hukum “Hukum adalah produk politik”. Substansi Undang-undang dipengaruhi oleh konstalasi politik yang diwarnai oleh perdebatan dan perebutan kekuasaan di lembaga legislatif pada waktu undang-undang itu dirumuskan. Politik merupakan penentu arah kebijakan hukum dan perundang-undangan. Demikian juga adagium hukum sebagai produk sejarah yang terus menerus berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Produk hukum di setiap fase sejarah akan menjadi cermin bagi perkembangan hukum di era selanjutnya. Sejarah hukum di masa lalu memiliki pengaruh besar terhadap dinamika hukum dimasa kini dan masa yang akan datang (Riwanto, 2016).
Sejarah Singkat Lahirnya Undang-undang Perkawinan
Islam sudah masuk ke Nusantara pada abad-abad pertama Hijriyah, sebagaimana dikemukakan Arnold, namun proses Islamisasi nampaknya mengalami akselarasi antara abad ke duabelas dan ke enambelas (Azra, 1995). Hukum Islam hidup, diyakini dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sudah berutat-berakar dalam kehidupan. Hukum Islam sudah menjadi bagian dari adat bangsa Indonesia jauh sebelum para penjajah barat datang. Salah satu dari hukum Islam yang diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat Islam Nusantara adalah hukum perkawinan.
Ketika Belanda melakukan penjajahan dan menancapkan cengkraman jajahannya melalui kekuatan militer dan politik hukum. Dibidang hukum, Belanda melakukan politik diskriminasi hukum (Suminto, 1985). Belanda mengatur perkawinan berdasarkan golongan. Bagi orang Indonesia asli berlaku hukum adat, bagi orang Islam, berlaku hukum perkawinan Islam dan Bagai penduduk asli yang beragama Kristen, tunduk pada staatblad 1933 Nomor 74 (Huwelijks Ordonantie Inonesiers/HOCI). Bagi orang Ara dan bangsa timur Asing bukan Tiong Hoa, berlaku Burgerlijk Wetboek. Bagi Orang Tiong Hoa berlaku Burgerlijk Wetboek dengan sedikit pengecualian yaitu mengenai pencatatan jiwa dan acara sebelum perkawinan. Dan dalam hal perkawinan campuran pada umumnya berlaku hukum dari suami yaitu peraturan perkawinan campuran yang diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijken Staatblad 1898 nomor 158 (Sopyan, 2012).
Setelah merdeka, Bangsa Indonesia berusaha membuat hukum perkawinan sendiri yang lebih mencerminkan cita hukum bangsa melalui kodifikasi dan unifikasi hukum. Karena hukum perkawinan di Indonesia plural, maka sangat kesulitan untuk menyatukan hukum-hukum perkawinan yang ada dalam satu wadah. Tercatat sudah ada 6 kali usaha untuk membuat RUU Perkawinan namun selalu kandas. Terakhir lahirlah RUU perkawinan tahun 1973 yang menjadi cikal bakal UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. RUU ini diusulkan oleh pemerintah Orde Baru. Desain utama Draft RUU adalah Prof. Sudargo Gautama, seorang Guru Besar Hukum Perdata di Universitas Indonesia yang beraliran sekuler. RUU ini mengandung sejumlah kontroversi dan mendapatkan penolakan dari umat Islam karena banyak pasal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum perkawinan Islam. Penolakan tersebut menyebabkan demonstrasi besar-besaran dari semua lini umat Islam. Bahkan demonstrasi tersebut merupakan demonstrasi yang terbresar dalam sejarah hukum Indonesia, karena demonstran bukan saja mengurung gedung DPR, tetapi menguasai ruang sidang dan mengusir keluar anggota DPR (Sopyan, 2012)
Perlu diketahui bahwa konstalasi umat Islam di DPR yang diwakili oleh PPP adalah minoritas (20%) Sisanya Golkar, PDIP dan Fraksi ABRI. Tentu kalau Hukum sebagai ekpresi dari politik, Umat Islam akan kalah. Akan tetapi, demonstrasi umat Islam dapat menekan pemerintah untuk membatalkan RUU tersebut dan mengakomodasi keinginan umat Islam agar RUU tidak bertentangan dengan Hukum Perkawinan Islam sehingga pemerintah menyerah.
Kafrawi Ridwan dan Peranannya dalam Kelahiran Undang-undang Perkawinan
Orang yang paling berjasa dalam mensukseskan masuknya hukum Islam ke dalam UU Perkawinan adalah Kafrawi Ridwan. Kafrawi nyaris luput dari liputan jurnalistik sehingga tidak terlalu dikenal sebagai tokoh dibalik suksesnya Umat Islam melakukan tekanan politik pada pemerintah. Karenanya, penulis menyebut Kafrawi sebagai “the man behind the gun”. Kafrawi mengambil peranan penting sebagai mildfielder (istilah sepakbola) yang bertugas menjadi penyeimbang dan pengatur permainan. Waktu itu ia menjabat sebagai Dirjen Bimas Islam Kementrian Agama RI ketika Menteri Agamanya Prof. Dr. A. Mukti Ali.
Setelah menerima draf RUU Perkawinan yang kontroversial, Kafrawi menghadap Menteri Agama, Mukit Ali dan menjelaskan bahwa RUU berbahaya dan merugikan umat Islam. Mukti Ali dalam dilema, satu pihak ia adalah Menteri Agama, pembantu Presiden yang harus membela Soeharto, tapi satu pihak memang UU ini bermasalah dan harus ditolak. Kemudian Mukti Ali berkata kepada Kafrawi :….. baiklah kalau begitu, Saya sebagai Menteri akan mengamankan ini (RUUP). Tapi anda, tolong mobilisasi massa untuk melakukan protes….
Kemudian Kafrawi menghadap Ketua DPR/MPR KH Idham Khalid, sebetulnya Idham sudah pro pemerintah karena dipengaruhi ABRI (Saridjo : 2002), tapi Kafrawi bisa meyakinkan Idham bahwa RUU ini harus ditolak. Akhirnya Idham setuju dan harus bermuka dua. Kedua tokoh tersebut memberi saran kepada Kafrawi untuk menggalang dukungan untuk menentang RUU terutama dari ulama-ulama besar di Pesantren. Idham menyarankan Kafrawi untuk menemui KH Bisri Sjamsuri, KH Yusuf Hasyim, Buya Hamka, KH Abdullah Syafii dll. Dikalangan muda, Kafrawi menggerakkan PII dan HMI dimana Kafrawi pernah menjadi aktifis di dua organisasi itu. Di kalangan muda, Kafrawi mendekati Tuty Alawiyah yang memiliki basis masa yang kuat melalui majelis taklim dan jaringan pesantren.
Melihat demonstrasi yang besar dan dilakukan oleh semua lini masyarakat dari pelajar, santri, majelis taklim, mahasiswa dan masyarakat umum, dan demonstran sudah mengepung dan menguasai gedung DPR, membuat suasana tidak konsusif dan rawan terjadi disintegrasi, akhirnya Soeharto menyerah dan meminta DPR untuk membentuk Pokja RUU Perkawinan yang diketuai oleh Amir Murtono (ABRI) dengan beberapa anggota yang duduk dalam tim itu diantaranya : Soekarton (Kejaksaan Agung), Kosmas Batubara (Golkar), Arso Sosroatmodjo, Wasit Aulawi dan Ihtiyanto (Kemenag). Kafrawi juga masuk dalam bagian inti dari tim Pokja tersebut. Menurut Kafrawi, ada peristiwa yang menarik dan lucu. Ketika sidang Pokja dilaksanakan di gedung Perpustakaan Nasional, Cosmas Batubara tidak setuju pada suatu isu yang sedang dibahas. Namun ketua Tim, Pak Amir Murtono menegur dengan nada tinggi “Cosmas….. diam kamu, ini urusan Orang Islam, ....” mendengar teguran tersebut Cosmas langsung terdiam. (Sopyan : 2012)
Akhirnya tim Pokja merumuskan agar semua usulan dan keberatan dari umat Islam diakomodasi dalam RUU hasil revisi Panitia kerja dengan melakukan penyelarasan teknis hukum. Kemudian RUU tersebut diajukan oleh pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 itu diteruskan kepada sidang paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi UU. Pada hari itu juga RUU tentang perkawinan itu disahkan oleh DPR RI setelah memakan waktu pembahasan lebih kurang tiga bulan lamanya. Pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan sebagai UU No 1/1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara No 1/1974, tambahan Lembaran Negara No 3019/1974.
Apa Yang Harus Kita Lakukan Dengan UU Perkawinan
Dilihat dari rangkaian sejarahnya, UU tersebut merupakan hasil perjuangan umat Islam yang cemerlang dan menentang kemustahilan politik. Perjuangan tersebut sangat berat dan nyaris mustahil bisa diulang lagi oleh umat Islam. Secara substansial, UU ini sudah diuji bahwa tidak satupun pasal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Namun dalam tatanan praktis, sangat disayangkan, umat Islam (termasuk didalamnya Hakim Pengadilan Agama) masih terjebak pada ambiguitas hukum akibat adanya dualisme hukum perkawinan yaitu UU Perkawinan dan Fiqh Perkawinan, dan lebih mengutamakan fiqh ketimbang UU Perkawinan. Kalau ini masih terjadi, maka kita perlu merenung dan perlu mengkaji ulang apakah masih penting melakukan mengintegrasikan hukum Islam ke dalam hukum nasional? Wallahu a’lam
Referensi
Agus Riwanto, 2016, Sejarah Hukum: Konsep, Teori, dan Metodenya dalam Pengembangan Ilmu Hukum, Karanganyar: Oase Pustaka.
Azyumardi Azra, 2013, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Marwan Raridjo, (202) 70 tahun H. Kafrawi Ridwan : jabatan untuk umat, Jakarta : Yayasan Pustaka Umat.
Lili, Rasjidi dan Putra, Wyasa, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju: Bandung.
Rahardjo,Satjipto,2006, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta.
Rahardjo,Satjipto,2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta.
Suminto, Husnul Aqib, Politik islam Hindia Belanda, Jakarta : LP3ES, 2007
Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional, RMBooks PT Wahana Semesta Intermedia
Prof. Dr. Yayan Sopyan, SH, MA, MH adalah Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof Yayan dapat dikontak melalui e-mail : yayan_sopyan@uinjkt.ac.id