Dinamika Thalaq Akibat Konflik Rumah Tangga

Oleh: Dahlia Haliah Ma’u

Menikah merupakan salah satu syari’at Islam sebagai jalan bagi manusia untuk meneruskan keturunannya, melestarikan kehidupannya, setelah masing-masing pasangan melaksanakan hak dan kewajiban dalam rangka mewujudkan tujuan pernikahan yakni terciptanya rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (samara).Pernikahan juga merupakan akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzhan) untuk menaati perintah Allah Saw dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sebagai ikatan yang kuat, pernikahan dapat dikategorisasikan sebagai salah satu ibadah terlama atau terpanjang bagi kehidupan manusia. Untuk mencapai ibadah ini, Islam mengatur secara terhormat yang didasarkan kerelaan kedua belah pihak melalui ijab dan qabul yang disaksikan oleh para saksi dan masyarakatsebagai penanda telah terjadi momen sakral yang diridhai pemilik semesta ini.

Mewujudkan ikatan pernikahan yang kokoh merupakan dambaan bagi setiap pasangan nikah. Akan tetapi, tidak semua pasangan nikah dapat mempertahankan ikatan sakral ini dengan mudah sesuai dengan intensi pasangan nikahtersebut. Artinya, seiring dengan berjalannya waktu, terdapat banyak pasangan nikah yang mengakhiri ikatan suci tersebut dengan berpisah atau bercerai.

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan pasangan nikah berpisah (thalaq). Dalam hal ini, di semua websitePengadilan Agama di Indonesia, telah mereport secara online bahwa penyebab terjadinya perceraian di Indonesia adalah:zina, mabuk, madat, judi, meninggalkan salah satu pihak, dihukum penjara, poligami, KDRT, cacat badan, perselisihan dan pertengkaran terus menerus, kawin paksa, murtad, dan ekonomi. Tulisan ini terfokus menelaah faktor penyebab terjadinya perceraian karena perselisihan dan pertengkaran terus menerus dalam konteks fiqh munakahat dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia.

 

Thalaq Akibat Perselisihan dan Pertengkaran

Berdasarkan data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, sejak tahun 2021 sampai 2023, jumlah pasanganyang bercerai akibat perselisihan dan pertengkaran terus menerus merupakan faktor penyebab yang paling dominan terjadipada masyarakat Indonesia. Tahun 2021 berjumlah 279.205, 2022 berjumlah 284.169, dan 2023 berjumlah 251.828 (https://www.bps.go.id/). Hal ini juga dapat dilihat pada pemberitaan resmi Mahkamah Agung (MA) RI, baik melalui laman resmi Pengadilan Agama (PA) maupun Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Misalnya, di situs resmi PTA Pekanbaru, PA Cilegon, PA Rangkasbitung, PA Tenggarong, PA Banjarmasin, dan lain-lain. Ironisnya juga, dari lima provinsi dengankasus perceraian tertinggi ( Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra Utara, dan DKI Jakarta), faktor perselisihan dan pertengkaran terus menerus menduduki posisi tertinggi penyebab terjadinya perceraian di Indonesia.

Thalaq Perspektif Fiqh Munakahat

Syariat Islam menghendaki setiap pasangan suami istri harus mampu mempertahankan rumah tangganya sampai maut yang memisahkan keduanya. Akan tetapi, dalam kondisi ataupun keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menyebabkan putusnya ikatan pernikahan (thalaq). Syari’at Islam membolehkan putusnya ikatan pernikahan sebagai langkah terakhir yang ditempuh pasangan suami istri. Walaupun perbuatan ini halal, akan tetapi dibenci sang khaliq,Allah Swt (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Thalaq menjadi sah jika terpenuhi unsur atau rukunnya yakni: suami, istri, lafal thalaq, dan diniatkan (Al-Jaziri, h.249-251). Thalaq juga dapat terjadi karena beberapa indikator, yaitu: Pertama, karena kehendak (taqdir) dari Allah Swt berupa terjadinya kematian. Kedua, karena kehendak atau keinginan suami dengan lafal thalaq atau cerai. Ketiga, karenakehendak istri berupa khulu’. Keempat, karena kehendak hakim atau qadhi berupa fasakh.

Indikator perceraian karena kehendak suami atau istri yang salah satu faktor penyebabnya adalah terjadinya perselisihan atau pertengkaran. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd (h.625) mendeskripsikan bahwa ulama membolehkan mengutus hakam (mediator) ketika terjadi perselisihan suami istri, hal ini didasarkan pada QS. An-Nisa’ (4): 35. Hakamyang dimaksudkan adalah dari pihak keluarga suami dan istri. Jika tidak ada keluarga yang layak untuk menjadi hakam, maka dibolehkan bukan dari pihak keluarga.

Menurut Az-Zuhaili (h.528-529), syarat menjadi hakam dari pihak suami maupun istri yaitu laki-laki, adil, ahli dalam perkara yang dibebankan kepadanya. Sedangkan Sabiq (h.99) menjelaskan bahwa syarat menjadi hakam yaitu duaorang laki- laki, berakal sehat, dewasa, adil, muslim. Kedua orang hakam tersebut tidak mesti dari keluarga suami istri yang bertengkar. Selanjutnya, Az-Zuhaili menyatakan jika tidak ada yang berasal dari keluarga suami atau istri, maka qadhi mengutus dua orang laki- laki yang memiliki kemampuan mendamaikan suami istri tersebut. Jika terjadi thalaq, maka termasuk thalaq ba’in, karena kemudharatan tidak dapat dihilangkan kecuali dengan thalaq ba’in.

Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali, membolehkan dilakukan pemisahan akibat perselisihan atau kemudharatan.Karena mencegah kemudharatan dari istri dapat dilakukan dengan tanpa thalaq, melalui cara mengadukan perkara tersebut kepada qadhi, dan dikenakan hukuman pemberian pelajaran kepada suami sampai ia tidak berbuat kemudharatan kepada istrinya. Sedangkan mazhab Maliki membolehkan pemisahan akibat perselisihan atau kemudharatan untuk mencegah pertikaian agar jangan sampai kehidupan suami istri menjadi neraka dan bencana. Hal ini didasarkan pada hadis: “tidakada kemudharatan dan tidak boleh melakukan kemudharatan”. Istri mengadukan persoalannya kepada qadhi, jika dapat dibuktikan aduannya, maka qadhi menceraikan istri dari suaminya, jika istri tidak mampu membuktikan kemudharatan, maka aduannya ditolak (Az-Zuhaili, h.527).

Berdasarkan paparan di atas, dalam konteks fiqh munakahat, jika terjadi perselisihan atau pertengkaran terus menerus antara suami istri, solusi pertama yang harus ditempuh dengan menghadirkan hakam (mediator) dari pihak keluarga. Keluarga harus berupaya maksimal untuk mendamaikan pasangan nikah tersebut. Jika sudah berupaya dengan maksimal tapi tidak berhasil didamaikan, barulah ditempuh jalan perpisahan atau cerai yang diputuskan oleh qadhi. Putusan thalaq dari qadhi tersebut digolongkan kedalam thalaq ba’in.

Thalaq Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Pasal 113 KHI di Indonesia disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Selanjutnya, pasal 114 dan 115 dirumuskan: Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena thalaq atau berdasarkan gugatan perceraian. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama (PA), setelah PA tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pasal 116 menyebutkan alasan penyebab terjadinya perceraian adalah:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yangsukar disembuhkan.
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih beratsetelah perkawinan berlangsung.
  4. Salah satu    pihak    melakukan    kekejaman    atau    penganiayaan    berat    yang membahayakan pihak lain.
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankankewajibannya sebagai suami atau istri.
  6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak adaharapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
  7. Suami melanggar taklik
  8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Khusus pasal 116 huruf f, penjelasannya dapat dilihat pada pasal 134: Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi PA mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami istri tersebut. Jikaterjadi thalaq bagi pasangan suami istri dengan alasan perselisihan, maka thalaq tersebut dikategorisasikan sebagai thalaq ba’in shugra, sebagaimana telah disebutkan pada pasal 119 (ayat 2) huruf c. Maksud dari thalaq ba’in shugra yaitu thalaq yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa fiqh Munakahat dan KHI telah mengatur tentang putusnya ikatan pernikahan melalui thalaq dan salah satu penyebabnya adalah terjadinya perselisihan antara suami istri. Keluarga sebagai hakamain harus berupaya secara maksimal untuk mendamaikan suami istri yang berselisih tersebut, karena ini merupakan perintah syari’at yang tentunya mengandung nilai-nilai kemaslahatan bagi setiap keluarga. Menjaga keutuhan keluarga lebih utama dan mulia daripada memilih pisah. Akan tetapi, jika terjadi perpisahan berupa thalaq yang disebabkan perselisihan atau pertengkaran, maka fuqaha’ melalui argumentasi hukumnya telah memberikan solusi bagikeduabelah pihak, demikian juga yang diatur dalam KHI di Indonesia. Allahu A’lam bi al-Showab.

 

Referensi:
Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu. Juz 7. Beirut: Dar al-Fikr, 1985 M / 1405 H.

Al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazhahib al-Arba’ah. Juz 4. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1410 H / 1990 M.

Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. (https://www.bps.go.id/**).

Departemen Agama RI. Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1998.

Ibnu Rusyd, Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad. Bidayah al-Mujtahid wa an-Nihayah al-Muqtashid. Amman Jordan: Bayt al-Afkar ad-Dauliyah, 2007.

Sabiq, as-Sayyid. Fiqh as-Sunnah. Juz 2. Kairo: al-Fath li al-A’lam al-Arabiy, t.th.

Dahlia Haliah Ma’u adalah Guru Besar  Fakultas Syari’ah IAIN Pontianak. Beliau dapat dikontak melalui e-mail: lystia.lia@gmail.com.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *